Hampir semua manusia di dunia, yang punya televisi atau yang bisa menonton televisi di tetangga atau di kelurahan, pada Jumat, 29 April 2011 tentu dapat menyaksikan perkawinan agung putra mahkota Kerajaan Inggris, Pangeran William dengan Catherine Kate Middleton, seorang wanita bukan keturunan raja.
Perkawinan itu agung karena dibuat agung. Kereta-kereta kerajaan ditarik kuda-kuda putih, pasukan pengawal berseragam merah berkuda hitam-hitam, Pangeran William berseragam merah sebagai kolonel kehormatan dari pasukan pengawal Kerajaan Inggris. Kate Middleton tentu saja tiba-tiba jadi ikon perempuan 2011. Kecantikannya disejajarkan dengan almarhumah Putri Diana, ibunda Pangeran William. Gaya busananya (yang di mata saya biasa-biasa saja seperti gaya pakaian cewek-cewek tomboy zaman sekarang) bahkan dipuji dan dipuja oleh para desainer top dan dipakai perempuan-perempuan modis sedunia. Pendek kata, perkawinan itu membuat kita bermimpi, betapa mulianya pernikahan itu, betapa bahagianya kedua mempelai, seperti Sinderella dan Pangeran dalam dongeng 1001 Malam.
Tetapi, saya juga pernah menikahkan tiga anak. Paling tidak, di mata saya, istri saya, para besan saya, dan seluruh keluarga besar kami, pernikahan ketiga anak saya itu pun agung. Investasi biaya pun tidak sedikit. Bisa dikatakan agak dipaksakan untuk membuat tamu-tamu kami senang. Kami menyewa gedung yang luas dan sejuk, menyediakan hidangan yang lezat, upacara akad nikah secara agama dan adat dibuat sedemikian rupa sehingga air mata haru biru bercampur aduk. CPP dan CPW (calon pengantin pria/ wanita) didandani sehingga lebih tampan dan cantik seperti dewa-dewi dari kayangan. Keesokan harinya, pernikahan agung yang sudah diantisipasi berbulan-bulan sebelumnya lewat begitu saja.
Bunga-bunga papan berserakan dan petugas masih sibuk menghitungi piring. Kedua mempelai masih melanjutkan kebahagiaan beberapa hari dengan bulan madu, tetapi para bokap dan nyokap dari kedua belah pihak harus duduk bersama untuk berhitung berapa lagi utang-utang yang harus dibayar. Tetapi, memang begitulah. Untuk membeli sebuah mimpi memang sangat mahal. Semua pernikahan anak saya didahului dengan acara siraman (adat Jawa). Untuk itu, perlu disediakan air dari tujuh sumber dan bunga tujuh rupa. Selain itu, masih banyak juga ubo-rampe (pernak-pernik) yang masih harus disiapkan.
Di kalangan orang Toraja, ubo rampe-nya bahkan beberapa ekor kerbau bule (bukan bule berotak kerbau) yang harganya jauh lebih mahal dari air dan bunga. Semua itu dengan harapan dan doa agar pernikahan itu bahagia selamanya dan di karunia anak-anak yang saleh dan seterusnya. Pokoknya, semua dengan niat baik dan mimpi indah. Bagaikan dalam akhir dongeng Sinderella dan Pangeran di mana dikatakan bahwa “They live happily ever after” (Mereka hidup berbahagia untuk selamanya). ***
Tetapi, mimpi bukan realita.
Di infotainment setiap hari kita menyaksikan kisah-kisah drama perkawinan antarselebritas yang berakhir tragis, padahal setahun dua tahun, bahkan ada yang hanya beberapa bulan yang lalu, kita menyaksikan perayaan pernikahan agung mereka yang sangat manis. Pernikahan agung Pangeran Charles dan Putri Diana, ayah bunda Pangeran William, bahkan berakhir tragis. Jadi mimpi dan realita bukan hanya saling berbeda, melainkan juga tidak ada korelasinya sama sekali. Mungkin lebih realistis jalan pikiran orang Marind-anim dari Kabupaten Merauke, Papua. Antropolog UI, Irwan M Hidayana pernah melaporkan (2004) bahwa seperti mayoritas orang Indonesia, pemuda-pemudi Marind-anim dilarang bergaul bebas selama belum menikah. Tempat tinggal mereka pun dipisahkan.
Tidak seperti mahasiswa-mahasiswi kita yang nge-kost (dari bahasa Belanda: in de kost, artinya mondok atau tinggal di pondokan) bareng-bareng, laki-perempuan sama saja. Atau seperti William dan Kate yang pernah seasrama. Pemuda-pemudi Marind-anim bertemu dan berkenalan hanya dalam pesta-pesta adat. Tetapi, begitu tiba hari pernikahan, pada upacara perkawinan, calon pengantin perempuan harus berhubungan seks dahulu dengan sejumlah laki-laki dari kelompok kerabat calon suaminya.
Hubungan seks pranikah gaya Salome (satu loba** rame-rame) ini dilakukan pada upacara adat besar yang bertujuan meningkatkan kesuburan karena sperma laki-laki dipercaya sebagai simbol kesuburan (betul, kan? tanpa sperma, tidak mungkin hamil) dan menambah kecantikan perempuan (ada salon di Jakarta yang mempromosikan salep pengencang wajah wanita yang konon mengandung esens sperma...wallahu a’lam...). Tentunya “Budaya Sperma” ini berimplikasi buruk, termasuk menyebarnya PMS (penyakit menular seksual) dan HIV/AIDS.
Khususnya di era sekarang di mana PSK sudah masuk Papua. Celakanya, tanpa banyak kampanye, para bapak, om, dan embah penyumbang sperma itu sudah telanjur punya hubungan erat dengan para PSK itu. Namun, bagaimanapun alasan mereka lebih “logisrealistis”, sesuai pengetahuan mereka yang terbatas, ketimbang kita-kita yang katanya sudah modern, berpendidikan tinggi, dan profesor (seperti saya), tetapi masih percaya pada kembang tujuh rupa, kerbau bule, atau kereta kencana, yang jelas-jelas takhayul. Malah ada yang lebih heboh lagi, yaitu Pertunangan Agung. Siti Ruby Aliya, putri sulung Menko Hatta, resmi dilamar oleh Presiden SBY untuk putra bungsunya, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas).
Saya spesial mengamati jalannya upacara lewat siaran berita televisi. Kesimpulan saya, tidak ada yang spesial dari upacara itu. Memang karena kebetulan SBY adalah presiden, penjagaan ketat, ada panser-panser siaga, dan sebagainya. Tetapi, selebihnya biasa saja. Sama saja seperti ketika saya melamar dan dilamar untuk anak-anak saya dan mewakili keluarga keponakan-keponakan saya yang banyak itu, melamar atau dilamar orang lain. Hampir semua orang tua Indonesia yang pernah menikahkan anaknya pernah mengalami proses seperti itu.
Malah dalam upacara lamaran Ibas dan Aliya (media menyebutnya pertunangan) itu tidak ada takhayul-takhayul yang gakmasuk akal. Cuma doa-doa biasa. Yang membuat takhayul justru media massa dan pakar-pakar gosip, dengan mengaitngaitkannya dengan “Pernikahan politik antara Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional”. Apa hubungannya, coba! Bangsa ini memang suka sekali bermimpi-mimpi indah. Berbeda dengan mimpi basah yang tidak ada bahayanya sama sekali (tetapi sering membuat cemas ibu-ibu yang anaknya baru ABG), mimpi indah yang tidak jelas bisa sangat berbahaya. Mimpi indah itu melambungkan harapan jauh di atas realita.
Celakanya, banyak orang tidak bisa membedakan mana yang realita mana yang mimpi. Ketika deskrepansi (selisih) antara mimpi dan realita itu sudah melampaui batas toleransi, terjadilah deprivasi relatif. Deprivasi artinya adalah perasaan yang timbul karena kehilangan atau kekurangan sesuatu, yang disertai rasa kecewa dan marah, sedangkan relatif adalah bersifat subjektif, bukan objektif. Misalnya kalau kita sangat menginginkan sesuatu dan belum bisa membelinya karena gaji kita pas-pasan sebagai PNS (pegawai negeri sipil), itu namanya frustrasi. Tetapi, kalau tiba-tiba tetangga kita sesama PNS, yang kawannya Gayus, sudah bisa membeli yang lebih hebat dari yang kita inginkan,itu namanya deprivasi.
Dan reaksi dari deprivasi bisa jauh lebih hebat dari sekadar frustrasi. Dampak frustrasi, kalau berkelanjutan, paling pol depresi atau maksimum bunuh diri. Tetapi, depresi bisa agresif, bahkan membunuhi orang lain (termasuk sambil bunuh diri juga). Saya khawatir umat manusia sedunia zaman sekarang sudah kena demam deprivasi.
Di mana-mana terjadi perang, teror, bom bunuh diri, dan berbagai kekerasan lainnya antarsesama umat. Semua karena mimpi-mimpi yang dibangun pemimpin-pemimpin dunia, yang tidak diikuti kerja-kerja nyata yang lebih konkret. Kalau pepatah Jawa mengatakan: “Ngono yo ngono, nanging ojo ngono...” Dalam kaitan dengan mimpi, pepatah itu menjadi: “Mimpi ya mimpi, tetapi.... mimpi kali, yeee?”?
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi UI
Perkawinan itu agung karena dibuat agung. Kereta-kereta kerajaan ditarik kuda-kuda putih, pasukan pengawal berseragam merah berkuda hitam-hitam, Pangeran William berseragam merah sebagai kolonel kehormatan dari pasukan pengawal Kerajaan Inggris. Kate Middleton tentu saja tiba-tiba jadi ikon perempuan 2011. Kecantikannya disejajarkan dengan almarhumah Putri Diana, ibunda Pangeran William. Gaya busananya (yang di mata saya biasa-biasa saja seperti gaya pakaian cewek-cewek tomboy zaman sekarang) bahkan dipuji dan dipuja oleh para desainer top dan dipakai perempuan-perempuan modis sedunia. Pendek kata, perkawinan itu membuat kita bermimpi, betapa mulianya pernikahan itu, betapa bahagianya kedua mempelai, seperti Sinderella dan Pangeran dalam dongeng 1001 Malam.
Tetapi, saya juga pernah menikahkan tiga anak. Paling tidak, di mata saya, istri saya, para besan saya, dan seluruh keluarga besar kami, pernikahan ketiga anak saya itu pun agung. Investasi biaya pun tidak sedikit. Bisa dikatakan agak dipaksakan untuk membuat tamu-tamu kami senang. Kami menyewa gedung yang luas dan sejuk, menyediakan hidangan yang lezat, upacara akad nikah secara agama dan adat dibuat sedemikian rupa sehingga air mata haru biru bercampur aduk. CPP dan CPW (calon pengantin pria/ wanita) didandani sehingga lebih tampan dan cantik seperti dewa-dewi dari kayangan. Keesokan harinya, pernikahan agung yang sudah diantisipasi berbulan-bulan sebelumnya lewat begitu saja.
Bunga-bunga papan berserakan dan petugas masih sibuk menghitungi piring. Kedua mempelai masih melanjutkan kebahagiaan beberapa hari dengan bulan madu, tetapi para bokap dan nyokap dari kedua belah pihak harus duduk bersama untuk berhitung berapa lagi utang-utang yang harus dibayar. Tetapi, memang begitulah. Untuk membeli sebuah mimpi memang sangat mahal. Semua pernikahan anak saya didahului dengan acara siraman (adat Jawa). Untuk itu, perlu disediakan air dari tujuh sumber dan bunga tujuh rupa. Selain itu, masih banyak juga ubo-rampe (pernak-pernik) yang masih harus disiapkan.
Di kalangan orang Toraja, ubo rampe-nya bahkan beberapa ekor kerbau bule (bukan bule berotak kerbau) yang harganya jauh lebih mahal dari air dan bunga. Semua itu dengan harapan dan doa agar pernikahan itu bahagia selamanya dan di karunia anak-anak yang saleh dan seterusnya. Pokoknya, semua dengan niat baik dan mimpi indah. Bagaikan dalam akhir dongeng Sinderella dan Pangeran di mana dikatakan bahwa “They live happily ever after” (Mereka hidup berbahagia untuk selamanya). ***
Tetapi, mimpi bukan realita.
Di infotainment setiap hari kita menyaksikan kisah-kisah drama perkawinan antarselebritas yang berakhir tragis, padahal setahun dua tahun, bahkan ada yang hanya beberapa bulan yang lalu, kita menyaksikan perayaan pernikahan agung mereka yang sangat manis. Pernikahan agung Pangeran Charles dan Putri Diana, ayah bunda Pangeran William, bahkan berakhir tragis. Jadi mimpi dan realita bukan hanya saling berbeda, melainkan juga tidak ada korelasinya sama sekali. Mungkin lebih realistis jalan pikiran orang Marind-anim dari Kabupaten Merauke, Papua. Antropolog UI, Irwan M Hidayana pernah melaporkan (2004) bahwa seperti mayoritas orang Indonesia, pemuda-pemudi Marind-anim dilarang bergaul bebas selama belum menikah. Tempat tinggal mereka pun dipisahkan.
Tidak seperti mahasiswa-mahasiswi kita yang nge-kost (dari bahasa Belanda: in de kost, artinya mondok atau tinggal di pondokan) bareng-bareng, laki-perempuan sama saja. Atau seperti William dan Kate yang pernah seasrama. Pemuda-pemudi Marind-anim bertemu dan berkenalan hanya dalam pesta-pesta adat. Tetapi, begitu tiba hari pernikahan, pada upacara perkawinan, calon pengantin perempuan harus berhubungan seks dahulu dengan sejumlah laki-laki dari kelompok kerabat calon suaminya.
Hubungan seks pranikah gaya Salome (satu loba** rame-rame) ini dilakukan pada upacara adat besar yang bertujuan meningkatkan kesuburan karena sperma laki-laki dipercaya sebagai simbol kesuburan (betul, kan? tanpa sperma, tidak mungkin hamil) dan menambah kecantikan perempuan (ada salon di Jakarta yang mempromosikan salep pengencang wajah wanita yang konon mengandung esens sperma...wallahu a’lam...). Tentunya “Budaya Sperma” ini berimplikasi buruk, termasuk menyebarnya PMS (penyakit menular seksual) dan HIV/AIDS.
Khususnya di era sekarang di mana PSK sudah masuk Papua. Celakanya, tanpa banyak kampanye, para bapak, om, dan embah penyumbang sperma itu sudah telanjur punya hubungan erat dengan para PSK itu. Namun, bagaimanapun alasan mereka lebih “logisrealistis”, sesuai pengetahuan mereka yang terbatas, ketimbang kita-kita yang katanya sudah modern, berpendidikan tinggi, dan profesor (seperti saya), tetapi masih percaya pada kembang tujuh rupa, kerbau bule, atau kereta kencana, yang jelas-jelas takhayul. Malah ada yang lebih heboh lagi, yaitu Pertunangan Agung. Siti Ruby Aliya, putri sulung Menko Hatta, resmi dilamar oleh Presiden SBY untuk putra bungsunya, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas).
Saya spesial mengamati jalannya upacara lewat siaran berita televisi. Kesimpulan saya, tidak ada yang spesial dari upacara itu. Memang karena kebetulan SBY adalah presiden, penjagaan ketat, ada panser-panser siaga, dan sebagainya. Tetapi, selebihnya biasa saja. Sama saja seperti ketika saya melamar dan dilamar untuk anak-anak saya dan mewakili keluarga keponakan-keponakan saya yang banyak itu, melamar atau dilamar orang lain. Hampir semua orang tua Indonesia yang pernah menikahkan anaknya pernah mengalami proses seperti itu.
Malah dalam upacara lamaran Ibas dan Aliya (media menyebutnya pertunangan) itu tidak ada takhayul-takhayul yang gakmasuk akal. Cuma doa-doa biasa. Yang membuat takhayul justru media massa dan pakar-pakar gosip, dengan mengaitngaitkannya dengan “Pernikahan politik antara Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional”. Apa hubungannya, coba! Bangsa ini memang suka sekali bermimpi-mimpi indah. Berbeda dengan mimpi basah yang tidak ada bahayanya sama sekali (tetapi sering membuat cemas ibu-ibu yang anaknya baru ABG), mimpi indah yang tidak jelas bisa sangat berbahaya. Mimpi indah itu melambungkan harapan jauh di atas realita.
Celakanya, banyak orang tidak bisa membedakan mana yang realita mana yang mimpi. Ketika deskrepansi (selisih) antara mimpi dan realita itu sudah melampaui batas toleransi, terjadilah deprivasi relatif. Deprivasi artinya adalah perasaan yang timbul karena kehilangan atau kekurangan sesuatu, yang disertai rasa kecewa dan marah, sedangkan relatif adalah bersifat subjektif, bukan objektif. Misalnya kalau kita sangat menginginkan sesuatu dan belum bisa membelinya karena gaji kita pas-pasan sebagai PNS (pegawai negeri sipil), itu namanya frustrasi. Tetapi, kalau tiba-tiba tetangga kita sesama PNS, yang kawannya Gayus, sudah bisa membeli yang lebih hebat dari yang kita inginkan,itu namanya deprivasi.
Dan reaksi dari deprivasi bisa jauh lebih hebat dari sekadar frustrasi. Dampak frustrasi, kalau berkelanjutan, paling pol depresi atau maksimum bunuh diri. Tetapi, depresi bisa agresif, bahkan membunuhi orang lain (termasuk sambil bunuh diri juga). Saya khawatir umat manusia sedunia zaman sekarang sudah kena demam deprivasi.
Di mana-mana terjadi perang, teror, bom bunuh diri, dan berbagai kekerasan lainnya antarsesama umat. Semua karena mimpi-mimpi yang dibangun pemimpin-pemimpin dunia, yang tidak diikuti kerja-kerja nyata yang lebih konkret. Kalau pepatah Jawa mengatakan: “Ngono yo ngono, nanging ojo ngono...” Dalam kaitan dengan mimpi, pepatah itu menjadi: “Mimpi ya mimpi, tetapi.... mimpi kali, yeee?”?
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi UI
Sumber : http://suar.okezone.com/read/2011/05/01/58/451918/pernikahan-agung
0 comments:
Post a Comment